Hardian Kusuma Djati Penggerak Petani Mandiri
Dunia pertanian mungkin tidak begitu menarik bagi kebanyakan anak
muda. Harus berlepotan lumpur, panas dan hujan, cukup menjadi alasan
bagi mereka untuk tidak menekuni bidang itu. Tapi tidak demikian halnya
dengan pemuda berusia 28 tahun bernama Hardian Kusuma Djati ini.
Pada 2010 lalu, ia bahkan menjadi wakil Wonogiri dalam ajang lomba pemuda pelopor bidang pertanian tingkat nasional. Akrab disapa Djati, pemuda asal Desa Kebonagung, Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri ini sudah berjibaku dengan masalah-masalah pertanian sejak usia 14 tahun. Maklum ayahnya juga seorang pengembang di bidang pertanian di desanya, terutama pertanian organik melalui pembuatan pupuk. Dari ayahnya itu pula, Djati belajar mengenai teknik-teknik pertanian organik.
Pada 2009, beberapa tahun setelah ayahnya meninggal dunia, anak pertama dari tiga bersaudara ini mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran beras organik. Untuk menjamin ketersediaan beras organik itu, Djati mengajak kelompok tani di desanya untuk bertani secara organik.
“Para petani di desa saya, waktu ayah saya masih hidup pernah mengembangkan pertanian organik. Tapi setelah ayah saya meninggal, kebanyakan mereka kembali menggunakan pupuk kimia, sebab tidak ada yang membantu pemasaran beras organik mereka,” kata Djati, belum lama ini.
Pertanian organik itu dikembangkan Djati dengan berbasis pada kemandirian petani. Dalam hal ini, petani dan kelompok tani diajak membuat pupuk sendiri dari kotoran ternak, mengolah tanah sendiri menggunakan pupuk itu, lalu menanam padi dengan tak sedikitpun menggunakan pupuk kimia. Pada 2009 itu juga, salah satu kelompok tani di desanya yang melakukan uji coba berhasil.
Keberhasilan itu memicu para petani di desa lain ikut mengembangkan pertanian organik. Hingga saat ini, puluhan kelompok tani dari 12 desa di Sidoharjo telah menjadi kelompok binaan Djati. Beras hasil panen kelompok-kelompok tani itu dipasarkan melalui perusahaannya ke sejumlah daerah termasuk Surabaya dan Jabodetabek dengan harga di tingkat petani yang lebih tinggi dibandingkan harga beras non-organik.
Djati bahkan mengaku pernah ditantang untuk melakukan pemasaran ke Eropa Barat dengan harga Rp 38.000/kg. Namun karena produksinya masih belum mencukupi, Djati belum berani memenuhi tantangan itu.
“Saya punya mimpi membuat para petani di Wonogiri mandiri seperti yang ada di negara-negara maju, tidak tergantung pada pemerintah dalam penyediaan pupuk, dan ke depan, saya ingin sekali melihat Wonogiri menjadi tujuan agrowisata dan agro industri,” tandasnya.
Diakuinya untuk mewujudkan mimpi itu tidaklah mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Ia bahkan mengakui mengajak petani beralih ke padi organik tidak sesulit yang dibayangkan. “Mengembangkan pertanian organik kuncinya ada pada pemasaran. Jika pemasaran produknya jelas, apalagi harga jualnya lebih tinggi, petani tidak akan segan-segan beralih ke padi organik,” ungkap pemuda yang mengaku pernah mengecap pendidikan di Akademi Teknik Warga jurusan Teknik Elektronik itu.
Sumber : RadioGGLink
Pada 2010 lalu, ia bahkan menjadi wakil Wonogiri dalam ajang lomba pemuda pelopor bidang pertanian tingkat nasional. Akrab disapa Djati, pemuda asal Desa Kebonagung, Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri ini sudah berjibaku dengan masalah-masalah pertanian sejak usia 14 tahun. Maklum ayahnya juga seorang pengembang di bidang pertanian di desanya, terutama pertanian organik melalui pembuatan pupuk. Dari ayahnya itu pula, Djati belajar mengenai teknik-teknik pertanian organik.
Pada 2009, beberapa tahun setelah ayahnya meninggal dunia, anak pertama dari tiga bersaudara ini mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran beras organik. Untuk menjamin ketersediaan beras organik itu, Djati mengajak kelompok tani di desanya untuk bertani secara organik.
“Para petani di desa saya, waktu ayah saya masih hidup pernah mengembangkan pertanian organik. Tapi setelah ayah saya meninggal, kebanyakan mereka kembali menggunakan pupuk kimia, sebab tidak ada yang membantu pemasaran beras organik mereka,” kata Djati, belum lama ini.
Pertanian organik itu dikembangkan Djati dengan berbasis pada kemandirian petani. Dalam hal ini, petani dan kelompok tani diajak membuat pupuk sendiri dari kotoran ternak, mengolah tanah sendiri menggunakan pupuk itu, lalu menanam padi dengan tak sedikitpun menggunakan pupuk kimia. Pada 2009 itu juga, salah satu kelompok tani di desanya yang melakukan uji coba berhasil.
Keberhasilan itu memicu para petani di desa lain ikut mengembangkan pertanian organik. Hingga saat ini, puluhan kelompok tani dari 12 desa di Sidoharjo telah menjadi kelompok binaan Djati. Beras hasil panen kelompok-kelompok tani itu dipasarkan melalui perusahaannya ke sejumlah daerah termasuk Surabaya dan Jabodetabek dengan harga di tingkat petani yang lebih tinggi dibandingkan harga beras non-organik.
Djati bahkan mengaku pernah ditantang untuk melakukan pemasaran ke Eropa Barat dengan harga Rp 38.000/kg. Namun karena produksinya masih belum mencukupi, Djati belum berani memenuhi tantangan itu.
“Saya punya mimpi membuat para petani di Wonogiri mandiri seperti yang ada di negara-negara maju, tidak tergantung pada pemerintah dalam penyediaan pupuk, dan ke depan, saya ingin sekali melihat Wonogiri menjadi tujuan agrowisata dan agro industri,” tandasnya.
Diakuinya untuk mewujudkan mimpi itu tidaklah mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Ia bahkan mengakui mengajak petani beralih ke padi organik tidak sesulit yang dibayangkan. “Mengembangkan pertanian organik kuncinya ada pada pemasaran. Jika pemasaran produknya jelas, apalagi harga jualnya lebih tinggi, petani tidak akan segan-segan beralih ke padi organik,” ungkap pemuda yang mengaku pernah mengecap pendidikan di Akademi Teknik Warga jurusan Teknik Elektronik itu.
Sumber : RadioGGLink
luar biasaa....
jadi pngen blajar kesana....