Kota Gaplek, Desa Bioetanol
(Upaya Peningkatan Kualitas Petani Singkong di Wonogiri)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia tanaman ubi kayu (singkong) sudah lama dikenal masyarakat dan tumbuh secara alami hampir di seluruh nusantara. Di beberapa daerah, tanaman ini masih menjadi sumber makanan pokok karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi. Selain itu, singkong juga sering dijadikan sebagai jajanan dengan beragam variasinya.
Di berbagai daerah yang memiliki lahan kritis dan kering, singkong sering dijadikan sebagai solusi cadangan pangan. Apabila terjadi krisis pangan yang disebabkan karena gagalnya penanaman padi, maka singkong dijadikan sebagai solusi alternatif pemenuhan kebutuhan makanan pokok.
Sentra tanaman singkong umumnya banyak ditemukan di kawasan yang mengalami kesulitan air, seperti kabupaten Wonogiri dan sekitarnya. Kawasan tersebut tergolong kawasan krisis air dan mengalami kemunduran dalam hal pertanian. Sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk menanam singkong daripada padi karena tanaman tersebut memiliki ketahanan yang hebat dan tidak membutuhkan banyak air.
Setelah panen, umumnya singkong tersebut dijemur menjadi gaplek. Dari gaplek tersebut muncul berbagai hasil olahan produk makanan seperti tiwul, dan sejenisnya. Maka tidak mengherankan jika kemudian kabupaten Wonogiri dikenal dengan Kota Gaplek, mengingat sebagian besar masyarakatnya mengkonsumsi gaplek sebagai makanan pokok.
Hingga saat ini, masyarakat wonogiri masih mempertahankan budaya menanam singkong. Hampir semua ladang di Wonogiri pasti terdapat tanaman singkong, hal ini dimaksudkan untuk menjaga ketahanan pangan jika suatu saat terjadi gagal panen tanaman padi. Masyarakat tidak ingin terlalu bergantung pada tanaman padi.
Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, pertanian di kabupaten Wonogiri perlahan mulai membaik. Gagal panen memang sesekali terjadi namun kondisinya tidak separah sebelumnya. Hal ini kemudian berpengaruh pada tanaman singkong, masyarakat mengalami kemajuan dan mulai meninggalkan konsumsi singkong. Tanaman tersebut memang masih ditanam oleh masyarakat Wonogiri namun fungsinya sudah tidak lagi menjadi cadangan pangan tetapi berubah menjadi pakan ternak. Singkong yang sudah kering dan menjadi gaplek umumnya disimpan di gudang untuk dijual kepada pengepul gaplek.
Terjadi penurunan strata sosial terhadap gaplek. Hal ini dapat dilihat dari catatan Dinas Pertanian (Dipertan) Wonogiri yang menyebutkan bahwa produksi singkong di Wonogiri mencapai 1.017.595 ton, namun yang dikonsumsi hanya 64.136 ton (Wonogiri: 2009). Sisanya sebesar 953.459 ton hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Petani masih menganggap singkong sebagai tanaman sampingan sehingga pengolahan yang diberikan nyaris tidak ada.
Padahal, singkong yang sudah menjadi gaplek tersebut sangat potensial untuk diolah menjadi dan sangat bermanfaat bagi dunia industri. Kebutuhan etanol di Indonesia pun sangat besar, sayangnya hal itu tidak diimbangi oleh pemenuhan produksi. Saat ini hanya terdapat 14 pabrik etanol di Indonesia, sehingga usaha tersebut memiliki potens yang sangat besar.
Potensi singkong yang sedemikian besar itu mengundang banyak investor untuk mengolah dan menanamkan modal di kabupaten Wonogiri. Bahkan, sebuah perusahaan bernama Guang Xi State Farms milik pemerintah kabupaten Wuming, Provinsi Guang Xi, China berencana untuk membuat Hutan Ketu, Wonogiri menjadi suatu kawasan industri (Wonogiri: 2008).
Di hutan tersebut rencananya akan dibangun 50 Perusahaan bioetanol yang akan menyerap 15.000 tenaga kerja. Selain berfungsi sebagai penyerap tenaga kerja, pembangunan perusahaan tersebut ditujukan agar potensi singkong yang ada di Wonogiri dapat dimanfaatkan secara baik dan bernilai ekonomis.
Rencana tersebut memang sangat menggiurkan, mengingat keberadaan perusahaan tersebut dapat mengatasi masalah pengangguran di Wonogiri, selain itu hasil investasi tersebut dapat meningkatan pendapatan asli daerah Wonogiri. Pola hidup masyarakat pun akan terangkat secara strata sosial, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat industri.
Namun sayangnya perjanjian kerjasama yang telah dirancang selama 3 tahun (2007-2009) tersebut gagal untuk diwujudkan. Hal ini disebabkan karena kabupaten Wonogiri memiliki keterbatasan air bersih, sehingga menghambat proses produksi pembuatan bioetanol. Akan tetapi, masalah ini bisa diselesaikan dengan melakukan penyulingan air laut yang ada di selatan kabupaten Wonogiri. Penyulingan ini memang membutuhkan banyak biaya, tetapi hal tersebut setara dengan keuntungan yang diperoleh dari bioetanol.
Masalah lainnya adalah terbatasnya jumlah sumber daya manusia (SDM) di Wonogiri yang dapat direkrut kedalam perusahaan bioetanol. Pemahaman masyarakat Wonogiri terkait dengan bioetanol masih sangat minim, padahal sasaran utama dari program ini adalah masyarakat Wonogiri. Sebenarnya masalah ini dapat diselesaikan dengan mengambil tenaga kerja dari luar Wonogiri, namun hal tersebut sangat beresiko karena dapat menimbulkan gesekan horisontal.
Masalah keterbatasan SDM tersebut menyebabkan investor dari China tersebut angkat kaki dari Wonogiri, peluang pertumbuhan ekonomi yang dibayangkan pun gagal direalisasikan. Diperlukan suatu penyelesaian khusus agar dapat meningkatkan kualitas SDM di Wonogiri.
Berdasarkan hal tersebut, kami tertarik untuk menyelesaikan masalah terkait bagaimana cara meningkatkan kualitas SDM Wonogiri di bidang bioetanol? Serta bagaimana cara mengubah paradigma masyarakat Wonogiri dari “Gaplek untuk Pakan Ternak” menjadi “Gaplek untuk Bioetanol”?
Manfaat dan Tujuan
Manfaat dan tujuan dari diadakannya Program yang bernama ”Kota Gaplek, Desa Bioetanol” ini antara lain:
Tanaman ubi kayu di Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Dalam statistik FAO (2009) disebutkan bahwa produksi ubi kayu di Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia setelah Niger, Brasil dan Thailand. Dalam satu tahun, produksi ubi kayu di Indonesia mencapai kisaran 22 juta ton, dengan luas tanam mencapai 1.205.440 ha.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar tanaman ubi kayu berasal dari Provinsi Lampung, Jawa Tengah, D. I. Yogyakarta dan Jawa Timur (BPS: 2009). Komoditas ubi kayu tersebut biasanya dijual dalam bentuk manihok atau yang dalam istilah awam dikenal dengan istilah gaplek untuk dijadikan sebagai pakan ternak. Produk tersebut tidak hanya dijual didalam negeri, tetapi juga diekspor ke berbagai negara seperti Italia, Amerika Serikat, China dan berbagai negara lainnya untuk digunakan sebagai program penggemukan hewan ternak (Wonogiri: 2007).
Beberapa daerah bahkan mendapat julukan sebagai kota gaplek karena memiliki tingkat produksi yang sangat tinggi dan menjadi sentra utama bagi produk gaplek. Ambil contoh kabupaten Wonogiri, dalam satu tahun kabupaten ini memiliki lahan ubi kayu seluas 70.330 ha dan mampu menghasilkan 1.205.279 ton ubi kayu, umumnya produk tersebut diolah dengan cara dijemur dan menghasilkan ubi kayu kering bernama gaplek. Gaplek tersebut kemudian dijual kepada pengepul, dari para pengepul itulah gaplek berpindah dari perusahaan satu ke perusahaan lain hingga akhirnya mencapai perusahaan di Surabaya untuk diekspor ke berbagai negara (Wonogiri: 2008).
Hingga saat ini upaya pemanfaatan ubi kayu masih tebatas pada pembuatan gaplek. Cara ini paling digemari oleh masyarakat karena dinilai sangat praktis. Setelah dipanen, ubi kayu cukup dibersihkan dan dikeringkan hingga menjadi gaplek. Setelah kering, biasanya ada pengepul yang sudah siap membeli produk tersebut. Tanpa membutuhkan banyak tenaga dan pikiran, uang hasil produk gaplek langsung bisa dinikmati.
Hanya saja kelemahan dari produk ini adalah harganya yang sangat rendah berkisar antara Rp. 300 hingga Rp. 700 per kilogram, tergantung harga yang ditentukan oleh para pengepul. Para petani ubi kayu tidak memiliki nilai tawar yang cukup tinggi karena gaplek yang sudah dijemur harus segera dijual. Jika terlalu lama disimpan di gudang, harga gaplek akan semakin jatuh.
Permasalahan tersebut sebenarnya disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki para petani dalam mengolah ubi kayu. Pengetahuan para petani tersebut masih terbatas pada pengolahan tingkat produk mentah. Padahal jika gaplek tersebut diberi sedikit sentuhan rekayasa pertanian maka akan berubah menjadi sebuah bahan bakar nabati yang terkenal dengan istilah bioetanol atau biofuel.
Produk tersebut memiliki nilai tawar yang lebih tinggi daripada gaplek biasa. Secara hitungan kasar, gaplek yang sudah diolah menjadi bioetanol tetapi belum disuling (destilasi) harganya meningkat hingga Rp. 1.700/kg. Adapun gaplek yang sudah diolah menjadi bioetanol hingga tingkat destilasi harganya mencapai Rp. 2.000 hingga Rp. 2.400 tergantung pada tingkat kemurnian etanol (Dinas Pertanian TPH Jawa Tengah: 2003).
Dari permasalahan tersebut kami mencoba untuk memberikan solusi awal dengan mengadakan pelatihan pembuatan bioetanol kepada masyarakat Wonogiri. Pelatihan ini diadakan di kecamatan Jatiroto yang berada di kabupaten Wonogiri. Kecamatan ini dipilih karena merupakan penghasil Kacang Mete yang relatif besar di Wonogiri. Selain itu, alasan dipilihnya kecamatan ini sebagai tempat pelatihan adalah tempatnya yang cukup terpencil dengan kondisi masyarakat yang masih tergolong kedalam tingkat pedesaan sehingga dapat menjadi kawasan percontohan terkait dengan usaha pembuatan bioetanol dengan asumsi apabila daerah sekelas Jatiroto dapat berhasil mengembangkan bioetanol, maka teknik ini juga dapat diterapkan di daerah lain.
Sasaran utama dalam pelatihan pembuatan bioetanol ini adalah anak-anak yang masih memasuki usia sekolah (9 hingga 18 tahun). Pemilihan ini didasari pada tingkat produktivitas anak-anak tersebut yang tergolong cukup tinggi. Anak-anak tersebut pada umumnya memiliki semangat yang tinggi untuk belajar diluar kelas dan mengamati dunia baru terutama terkait dunia keilmiahan.
Untuk memudahkan dalam proses pelatihan, kami membagi peserta sesuai dengan tingkat pendidikan yakni SD (Kelas 4 hingga 6), SMP dan SMA. Jumlah peserta dalam pelatihan pembuatan ini berturut-turut adalah 250 anak SD, 150 anak SMP, dan 100 anak SMA. Semua peserta berasal dari berbagai desa dan kelurahan yang ada di Jatiroto, dimana setiap desa diberi kesempatan untuk mengirimkan 30-40 anak guna mengikuti pelatihan bioetanol ini.
Tabel 1. Peserta Pelatihan Pembuatan Bioetanol di Kecamatan Jatiroto
Keterangan:
Untuk anak SD, pemberian materi masih terbatas pada teknik pembuatan tape dari bahan baku singkong. Teknik pembuatan tape menjadi dasar pengetahuan bagi pembuatan bioetanol. Setiap peserta SD diberi pemahaman sederhana terkait fungsi bakteri Saccharomyce Sp atau yang biasa dikenal dengan nama ragi dalam mengolah singkong menjadi tape.
Pada pendidikan dasar tersebut, peserta tidak dituntut untuk menghasilkan etanol, tetapi lebih pada bagaimana membuat tape yang baik dan enak. Disini para peserta diajarkan bagaimana cara mengolah singkong, memberikan ragi kedalam sngkong dan menutup singkong tersebut agar dapat mengalami proses fermentasi.
Untuk anak SMP, pemberian materi sedikit meningkat dari pembuatan tape menjadi produksi bioetanol setengah jadi. Para peserta tersebut diberi cara pembuatan bioetanol skala rumah tangga secara sederhana. Mulai dari pengolahan gaplek menjadi bubur, proses peragian, hingga tahap penyaringan etanol yag dihasilkan selama proses tersebut. Peserta belum dikenalkan pada materi destilasi secara penguapan dan pengukusan.
Pada pendidikan menengah ini, peserta mulai diperkenalkan dengan berbagai istilah kimiawi yang terjadi selama proses pembuatan bioetanol tersebut. Para peserta dituntut untuk mampu mengkombinasikan antara gaplek dengan ragi sehingga mampu menghasilkan bioetanol yang maksimal
Adapun untuk anak SMA, pemberian materi semakin meningkat. Dari aspek teori, peserta diperkenalkan pada materi kimia dan rekayasa teknologi. Para peserta sudah dilibatkan pada proses cara menghitung kadar yang dihasilkan secara kalkulasi ilmiah. Para peserta juga sudah diperkenalkan pada berbagai zat dan kandungan yang terdapat dalam etanol singkong.
Dari aspek praktik, materi yang diberikan kepada para peserta semakin meningkat hingga tahap penyulingan dan pemurnian etanol yang dihasilkan. Para peserta diajarkan untuk memproduksi bioetanol skala rumah tangga dan dituntut untuk mampu menghasilkan bioetanol yang jernih dan memiliki presentasi etanol yang tinggi dengan batas toleransi 85 persen.
Setelah proses pendidikan selesai, pada bulan Desember 2010 kami mengadakan lomba pembuatan bioetanol tingkat kecamatan Jatiroto. Lomba tersebut dibagi kedalam tiga klasifikasi yakni tingkat SD, SMP dan SMA. Setiap klasifikasi diberi ujian praktik dan teori. Ujian teori dilaksanakan dengan menggunakan skema lomba cerdas cermat.
Untuk ujian praktik, setiap kelompok peserta diberi berbagai alat untuk membuat bioetanol dan diberi waktu selama 4 hari untuk menyelesaikan proses pembuatan bioetanol tersebut. Pembatasan waktu selama 4 hari ini didasarkan pada pengamatan bahwa waktu terbaik untuk fermentasi singkong adalah selama 96 jam (Hikmiyati: 2008). Selama proses fermentasi, hasil olahan para peserta disimpan kedalam lemari dan disimpan di kantor kecamatan Jatiroto. Agar hasil fermentasi lebih stabil, kami menjaga lemari tersebut agar tetap berada sesuai dengan suhu kamar 20 hingga 25 derajat celsius.
Setelah 4 hari, para peserta kembali diundang untuk melanjutkan proses pembuatan bioetanol sekaligus penjurian. Pada final ini, seluruh masyarakat kecamatan Jatiroto sangat antusias untuk melihat perwakilan dari desa mereka melanjutkan proses pembuatan bioetanol. Banyak diantara masyarakat yang datang secara berbondong-bondong menggunakan mobil dengan bak terbuka demi menyaksikan perlombaa tersebut, meski sebenarnya banyak diantara mereka yang tidak mengetahui lomba apa yang sedang dilaksanakan.
Istilah “Bioetanol” masih sangat asing di telinga masyarakat, bahkan tak jarang ada masyarakat yang mengalami salah pengucapan. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan tema apa yang sedang dilombakan, yang terpenting adalah desanya dapat menjadi juara. Sebagian besar masyarakat terlalu antusias bahkan tak jarang ada yang menyoraki peserta lomba, sehingga lomba ini lebih mirip dengan pertandingan sepak bola. Kondisi demikian memang sedikit mengganggu konsentrasi para peserta, namun hal ini juga mengindikasikan bahwa semangat masyarakat Wonogiri khususnya Jatiroto untuk menjadi lebih maju masih sangat tinggi terutama dalam hal perkembangan bioetanol.
Juara umum I dalam lomba ini adalah Desa Sanggrong dan diikuti oleh Desa Pingkuk dan Desa Jatiroto. Pada proses penyerahan hadiah juara, kami juga memberikan anjuran agar terus berlatih dan berbagi cara pembuatan bioetanol kepada warga sekitar sehingga ilmu tersebut dapat dipelajari oleh banyak orang.
Pasca kegiatan tersebut, pada bulan Februari 2011 kami kembali mengunjungi Kecamatan Jatiroto untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dari pelatihan pembuatan bioetanol tersebut. Dari observasi yang kami lakukan ke berbagai desa di Kecamatan Jatiroto, terlihat ada kemajuan yang cukup baik karena 9 dari 15 desa sudah mulai mengadakan pelatihan pembuatan bioetanol di tingkat Karang Taruna setempat.
Program ibu-ibu PKK juga sudah memasukkan pelatihan pembuatan tape singkong dalam jadwal kegiatannya. Hal yang cukup mengejutkan adalah pada pendidikan informal seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di desa Ngelo, Pingkuk, Sanggrong dan Jatirejo juga memiliki jadwal pelatihan pembuatan bioetanol dengan alat yang lebih sederhana.
Berdasarkan hal tersebut, kesimpulan awal kami menyebutkan bahwa minat masyarakat Jatiroto terhadap pembuatan bioetanol sangat tinggi. Hanya saja selama ini belum ada lembaga yang memberikan pengetahuan terkait bioetanol sehingga masyarakat tidak kunjung berkembang dalam menggali potensi yang terdapat dalam tanaman ubi kayu.
Dari kegiatan pelatihan pembuatan bioetanol yang kami laksanakan diatas, kami mencoba untuk memberikan gagasan strategis terkait pengembangan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Wonogiri dalam hal bioetanol. Setidaknya ada 4 teknik yang harus diterapkan agar muncul perubahan pola pikir dari kota gaplek menjadi kota bioetanol. Keempat teknik tersebut adalah:
Pendidikan yang diberikan pun harus disesuaikan dengan kapasitas masyarakat tersebut. Sebagai contoh, pendidikan yang diberikan kepada ibu-ibu PKK tidak bisa disamakan dengan para remaja di Karang Taruna. Untuk PKK, pendidikan Bioetanol masih terbatas pada bagaimana membuat tape singkong yang baik dan enak. Jika sudah mapan dalam pembuatan tape singkong, maka barulah diperkenalkan bagaimana cara mengolah bioetanol secara sederhana.
Begitu pula dengan pendidikan untuk Karang Taruna, Kelompok Tani dan berbagai ormas lainnya. Program harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan para pengurus Karang Taruna tersebut. Praktis, program ini sangat bergantung pada kelihaian para tutor karena harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Program ini dapat dilaksanakan oleh siapa saja, baik dari instansi pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, hingga pemerintah. Namun peran pemerintah daerah tentu saja sangat diperlukan karena berpengaruh pada legitimasi kegiatan di mata masyarakat.
Tahap Kedua,membuat program “Kota Gaplek, Desa Bioetanol”. Program ini merupakan program lanjutan dari program pertama. Setelah memberikan pelatihan kepada masyarakat, harus ada upaya pembinaan agar program tersebut dapat berjalan secara berkelanjutan. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan mengadakan lomba sebagaimana yang telah kami uji cobakan di kecamatan Jatiroto diatas, lomba dilaksanakan setahun sekali.
Agar lomba dapat berjalan dengan baik, perlu diadakan klasifikasi lomba baik dari segi peserta maupun dari segi materi yang diujikan. Desa yang berhasil mengikuti semua lomba yang diujikan dan masuk kedalam 3 besar juara umum akan mendapatkan gelar “Desa Bioetanol”. Gelar ini diwujudkan dalam bentuk tulisan “Selamat Datang di Desa Bioetanol” yang dipasang di gerbang atau tugu menuju desa tersebut. Bahkan, jika perlu dibuat sertifikasi kepada warga yang sudah pernah menjuarai lomba pembuatan bioetanol.
Namun gelar ini tidak bisa melekat selamanya pada desa tersebut. Gelar “Desa Bioetanol” hanya berlaku selama satu tahun dan dievaluasi melalui lomba pembuatan bioetanol tahun berikutnya. Jika desa tersebut gagal mempertahankan prestasinya maka gelar tersebut akan dicabut dan diberikan kepada desa juara lainnya. Kegiatan ini bertujuan agar menumbuhkan semangat bersaing secara sportif antar desa dalam hal pembuatan bioetanol.
Apalagi setiap desa pasti memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri sehingga diharapkan akan muncul ide-ide kreatif dalam mengatasi kekurangan tersebut. Program ini sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun namun akan lebih menarik jika pemerintah kabupaten Wonogiri berperan aktif dan menggandeng instansi pendidikan dalam hal penilaian dan penjurian Desa Bioetanol. Sehingga hasil yang didapat dapat lebih maksimal dan diterima oleh semua kalangan.
Tahap Ketiga, mempromosikan tenaga kerja Wonogiri kepada para pengusaha bioetanol baik di dalam maupun luar negeri. Program ini juga merupakan kelanjutan dari program-program sebelumnya. Setelah diberi pendidikan, pelatihan dan gelar, pada umumnya masyarakat menuntut adanya peluang dari segi ekonomi atas apa yang selama ini telah mereka kerjakan.
Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah dengan mempromosikan potensi tenaga kerja dan sumber daya manusia tersebut kepada para pengusaha yang membutuhkan. Pada program ketiga ini, peran pemerintah daerah dinilai sangat vital karena harus membuka pintu investasi selebar-lebarnya kepada investor. Para calon investor tersebut harus diberikan penjelasan tentang potensi alam wonogiri yang sangat besar serta potensi sumber daya manusia yang juga tak kalah besarnya.
Diperlukan sebuah regulasi jelas yang mengatur berbagai ketentuan tata cara investasi bioetanol di Wonogiri, mulai dari lokasi aktivitas hingga masalah tenaga kerja sehingga potensi SDM yang sudah ada di Wonogiri tidak terbuang sia-sia dan menimbulkan masalah baru dalam masyarakat.
Tahap Keempat, menambahkan mata pelajaran baru kedalam semua instansi pendidikan mulai dari SD hingga SMA. Mata pelajaran baru tersebut berupa muatan lokal (mulok) “Desa Bioetanol” yang mengajarkan tentang bagaimana cara pembuatan Bioetanol dari skala rumah tangga hingga skala industri. Tentu saja dengan memperhatikan tingkat pendidikan.
Biasanya pada tahap awal akan terjadi krisis tenaga pengajar, tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan mengadakan kerjasama kepada instansi perguruan tinggi yang sedang melakukan program pengabdian masyarakat. Munculnya tambahan mata pelajaran ini bertujuan agar para siswa dapat menjadi tenaga kerja yang terampil setelah keluar dari masa pendidikan, sehingga bahaya akan pengangguran dapat sedikit teratasi.
Istilah “Desa Bioetanol” ini bertujuan agar para siswa merasa lebih dekat dengan nama bioetanol. Selain itu istilah ini juga bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa bioetanol tidak hanya dapat diciptakan oleh industri skala besar tapi juga oleh masyarakat dengan skala rumah tangga. Bioetanol tidak hanya diproduksi di kota tetapi juga lahir dari desa.
Slogan “Kota Gaplek, Desa Bioetanol” berfungsi sebagai pengubah pola pikir masyarakat Wonogiri dari sekedar mengolah menjadi gaplek menjadi bioetanol. Solgan seperti ini terbukti sangat efektif, misalnya adalah Propinsi Jawa Tengah yang membuat ikon baru menjadi ”Bali Deso, Mbangun Deso” sehingga membuat masyarakat menjadi hafal dan lebih memilih untuk membangu n daerahnya daripada berurbanisasi ke kota besar.
Hal ini tidak menutup kemungkinan, jika Kabupaten Wonogiri berani untuk menambah ikon ”Kota Gaplek, Desa Bioetanol” maka akan menumbuhkan sebuah pola pikir baru pada masyarakat. Kedepan, diharapkan program tersebut dapat berjalan lancar dan menjadi sebuah batu loncatan serta motivator bagi daerah-daerah lain yang juga memiliki potensi alam berupa singkong namun belum dapat memanfaatkannya secara optimal.
KESIMPULAN
Kabupaten Wonogiri memiliki potensi tanaman ubi kayu yang sangat besar, dalam satu tahun kabupaten ini memiliki lahan ubi kayu seluas 70.330 ha dan mampu menghasilkan 1.205.279 ton ubi kayu, umumnya produk tersebut diolah dengan cara dijemur dan menghasilkan ubi kayu kering bernama gaplek. Tingginya jumlah produk gaplek di Wonogiri menyebabkan kabupaten ini mendapatkan julukan sebagai Kota Gaplek.
Sayangnya, rendahnya harga gaplek tidak setara dengan tenaga yang dikeluarkan oleh para petani. Sebenarnya ubi kayu bisa juga dimanfaatkan untuk menjadi bioetanol, namun keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan pemanfaatan ubi kayu masih terbatas pada pembuatan gaplek. Oleh karena itu kami mengadakan penelitian terkait pelatihan pembuatan bioetanol kepada masyarakat kecamatan Jatiroto, Wonogiri.
Pelatihan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari semangat belajar yang tinggi dan saling bertukar ilmu terkait cara pembuatan bioetanol. Pelatihan yang tadinya hanya ditujuka kepada anak usia sekolah ternyata berkembang hingga ke ibu-ibu PKK dan remaja Karang Taruna.
Melihat keberhasilan dan tingginya hasil yang diperoleh dalam penelitian itu, kami berinisiatif untuk mencoba menawarkan beberapa gagasan terkait pengembangan bioetanol di kabupaten Wonogiri. Gagasan tersebut kami kemas dalam program yang bernama “Kota Gaplek, Desa Bioetanol”. Dalam program tersebut terdapat empat strategi yang harus dilaksanakan, meliputi:
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Wonogiri. 2007. Rencana Kerja Sama Pemerintah Daerah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Wuming China. Wonogiri.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri. 2007. Kabupaten Wonogiri dalam Angka Tahun 2006. Wonogiri
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonogiri. 2008. Laporan Kunjungan Kerja Kecamatan Baturetno 21 Juli 2008. Wonogiri
Dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri. 2008. Produksi Tanaman Pangan Kabupaten Wonogiri Tahun 2008. Wonogiri.
Hikmiyati Nopita. 2008. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Singkong melalui Proses Hidrolisa Asam dan Enzimatis. Makalah tidak Dipublikasikan. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Website:
http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor
http://www.bps.go.id/tab_sub/print.php?id_subyek=53%20¬ab=14
Sumber tulisan : http://kakniam.wordpress.com/2011/03/03/kota-gaplek-desa-bioetanol/
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia tanaman ubi kayu (singkong) sudah lama dikenal masyarakat dan tumbuh secara alami hampir di seluruh nusantara. Di beberapa daerah, tanaman ini masih menjadi sumber makanan pokok karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi. Selain itu, singkong juga sering dijadikan sebagai jajanan dengan beragam variasinya.
Di berbagai daerah yang memiliki lahan kritis dan kering, singkong sering dijadikan sebagai solusi cadangan pangan. Apabila terjadi krisis pangan yang disebabkan karena gagalnya penanaman padi, maka singkong dijadikan sebagai solusi alternatif pemenuhan kebutuhan makanan pokok.
Sentra tanaman singkong umumnya banyak ditemukan di kawasan yang mengalami kesulitan air, seperti kabupaten Wonogiri dan sekitarnya. Kawasan tersebut tergolong kawasan krisis air dan mengalami kemunduran dalam hal pertanian. Sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk menanam singkong daripada padi karena tanaman tersebut memiliki ketahanan yang hebat dan tidak membutuhkan banyak air.
Setelah panen, umumnya singkong tersebut dijemur menjadi gaplek. Dari gaplek tersebut muncul berbagai hasil olahan produk makanan seperti tiwul, dan sejenisnya. Maka tidak mengherankan jika kemudian kabupaten Wonogiri dikenal dengan Kota Gaplek, mengingat sebagian besar masyarakatnya mengkonsumsi gaplek sebagai makanan pokok.
Hingga saat ini, masyarakat wonogiri masih mempertahankan budaya menanam singkong. Hampir semua ladang di Wonogiri pasti terdapat tanaman singkong, hal ini dimaksudkan untuk menjaga ketahanan pangan jika suatu saat terjadi gagal panen tanaman padi. Masyarakat tidak ingin terlalu bergantung pada tanaman padi.
Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, pertanian di kabupaten Wonogiri perlahan mulai membaik. Gagal panen memang sesekali terjadi namun kondisinya tidak separah sebelumnya. Hal ini kemudian berpengaruh pada tanaman singkong, masyarakat mengalami kemajuan dan mulai meninggalkan konsumsi singkong. Tanaman tersebut memang masih ditanam oleh masyarakat Wonogiri namun fungsinya sudah tidak lagi menjadi cadangan pangan tetapi berubah menjadi pakan ternak. Singkong yang sudah kering dan menjadi gaplek umumnya disimpan di gudang untuk dijual kepada pengepul gaplek.
Terjadi penurunan strata sosial terhadap gaplek. Hal ini dapat dilihat dari catatan Dinas Pertanian (Dipertan) Wonogiri yang menyebutkan bahwa produksi singkong di Wonogiri mencapai 1.017.595 ton, namun yang dikonsumsi hanya 64.136 ton (Wonogiri: 2009). Sisanya sebesar 953.459 ton hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Petani masih menganggap singkong sebagai tanaman sampingan sehingga pengolahan yang diberikan nyaris tidak ada.
Padahal, singkong yang sudah menjadi gaplek tersebut sangat potensial untuk diolah menjadi dan sangat bermanfaat bagi dunia industri. Kebutuhan etanol di Indonesia pun sangat besar, sayangnya hal itu tidak diimbangi oleh pemenuhan produksi. Saat ini hanya terdapat 14 pabrik etanol di Indonesia, sehingga usaha tersebut memiliki potens yang sangat besar.
Potensi singkong yang sedemikian besar itu mengundang banyak investor untuk mengolah dan menanamkan modal di kabupaten Wonogiri. Bahkan, sebuah perusahaan bernama Guang Xi State Farms milik pemerintah kabupaten Wuming, Provinsi Guang Xi, China berencana untuk membuat Hutan Ketu, Wonogiri menjadi suatu kawasan industri (Wonogiri: 2008).
Di hutan tersebut rencananya akan dibangun 50 Perusahaan bioetanol yang akan menyerap 15.000 tenaga kerja. Selain berfungsi sebagai penyerap tenaga kerja, pembangunan perusahaan tersebut ditujukan agar potensi singkong yang ada di Wonogiri dapat dimanfaatkan secara baik dan bernilai ekonomis.
Rencana tersebut memang sangat menggiurkan, mengingat keberadaan perusahaan tersebut dapat mengatasi masalah pengangguran di Wonogiri, selain itu hasil investasi tersebut dapat meningkatan pendapatan asli daerah Wonogiri. Pola hidup masyarakat pun akan terangkat secara strata sosial, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat industri.
Namun sayangnya perjanjian kerjasama yang telah dirancang selama 3 tahun (2007-2009) tersebut gagal untuk diwujudkan. Hal ini disebabkan karena kabupaten Wonogiri memiliki keterbatasan air bersih, sehingga menghambat proses produksi pembuatan bioetanol. Akan tetapi, masalah ini bisa diselesaikan dengan melakukan penyulingan air laut yang ada di selatan kabupaten Wonogiri. Penyulingan ini memang membutuhkan banyak biaya, tetapi hal tersebut setara dengan keuntungan yang diperoleh dari bioetanol.
Masalah lainnya adalah terbatasnya jumlah sumber daya manusia (SDM) di Wonogiri yang dapat direkrut kedalam perusahaan bioetanol. Pemahaman masyarakat Wonogiri terkait dengan bioetanol masih sangat minim, padahal sasaran utama dari program ini adalah masyarakat Wonogiri. Sebenarnya masalah ini dapat diselesaikan dengan mengambil tenaga kerja dari luar Wonogiri, namun hal tersebut sangat beresiko karena dapat menimbulkan gesekan horisontal.
Masalah keterbatasan SDM tersebut menyebabkan investor dari China tersebut angkat kaki dari Wonogiri, peluang pertumbuhan ekonomi yang dibayangkan pun gagal direalisasikan. Diperlukan suatu penyelesaian khusus agar dapat meningkatkan kualitas SDM di Wonogiri.
Berdasarkan hal tersebut, kami tertarik untuk menyelesaikan masalah terkait bagaimana cara meningkatkan kualitas SDM Wonogiri di bidang bioetanol? Serta bagaimana cara mengubah paradigma masyarakat Wonogiri dari “Gaplek untuk Pakan Ternak” menjadi “Gaplek untuk Bioetanol”?
Manfaat dan Tujuan
Manfaat dan tujuan dari diadakannya Program yang bernama ”Kota Gaplek, Desa Bioetanol” ini antara lain:
- Meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Wonogiri
- Mengubah Paradigma masyarakat Wonogiri terhadap produk gaplek
- Menambah pengetahuan terkait proses sederhana membuat bioetanol
- Meningkatkan taraf hidup masyarakat di desa-desa Wonogiri
- Memotivasi daerah penghasil singkong dan gaplek lain untuk dapat memanfaatkan gaplek menjadi bioetanol.
- Meningkatkan kreativitas mahasiswa menerapkan ilmu yang didapat
- Menambah pengalaman Mahasiswa bersosialisasi dengan masyarakat luas.
Tanaman ubi kayu di Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Dalam statistik FAO (2009) disebutkan bahwa produksi ubi kayu di Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia setelah Niger, Brasil dan Thailand. Dalam satu tahun, produksi ubi kayu di Indonesia mencapai kisaran 22 juta ton, dengan luas tanam mencapai 1.205.440 ha.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar tanaman ubi kayu berasal dari Provinsi Lampung, Jawa Tengah, D. I. Yogyakarta dan Jawa Timur (BPS: 2009). Komoditas ubi kayu tersebut biasanya dijual dalam bentuk manihok atau yang dalam istilah awam dikenal dengan istilah gaplek untuk dijadikan sebagai pakan ternak. Produk tersebut tidak hanya dijual didalam negeri, tetapi juga diekspor ke berbagai negara seperti Italia, Amerika Serikat, China dan berbagai negara lainnya untuk digunakan sebagai program penggemukan hewan ternak (Wonogiri: 2007).
Beberapa daerah bahkan mendapat julukan sebagai kota gaplek karena memiliki tingkat produksi yang sangat tinggi dan menjadi sentra utama bagi produk gaplek. Ambil contoh kabupaten Wonogiri, dalam satu tahun kabupaten ini memiliki lahan ubi kayu seluas 70.330 ha dan mampu menghasilkan 1.205.279 ton ubi kayu, umumnya produk tersebut diolah dengan cara dijemur dan menghasilkan ubi kayu kering bernama gaplek. Gaplek tersebut kemudian dijual kepada pengepul, dari para pengepul itulah gaplek berpindah dari perusahaan satu ke perusahaan lain hingga akhirnya mencapai perusahaan di Surabaya untuk diekspor ke berbagai negara (Wonogiri: 2008).
Hingga saat ini upaya pemanfaatan ubi kayu masih tebatas pada pembuatan gaplek. Cara ini paling digemari oleh masyarakat karena dinilai sangat praktis. Setelah dipanen, ubi kayu cukup dibersihkan dan dikeringkan hingga menjadi gaplek. Setelah kering, biasanya ada pengepul yang sudah siap membeli produk tersebut. Tanpa membutuhkan banyak tenaga dan pikiran, uang hasil produk gaplek langsung bisa dinikmati.
Hanya saja kelemahan dari produk ini adalah harganya yang sangat rendah berkisar antara Rp. 300 hingga Rp. 700 per kilogram, tergantung harga yang ditentukan oleh para pengepul. Para petani ubi kayu tidak memiliki nilai tawar yang cukup tinggi karena gaplek yang sudah dijemur harus segera dijual. Jika terlalu lama disimpan di gudang, harga gaplek akan semakin jatuh.
Permasalahan tersebut sebenarnya disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki para petani dalam mengolah ubi kayu. Pengetahuan para petani tersebut masih terbatas pada pengolahan tingkat produk mentah. Padahal jika gaplek tersebut diberi sedikit sentuhan rekayasa pertanian maka akan berubah menjadi sebuah bahan bakar nabati yang terkenal dengan istilah bioetanol atau biofuel.
Produk tersebut memiliki nilai tawar yang lebih tinggi daripada gaplek biasa. Secara hitungan kasar, gaplek yang sudah diolah menjadi bioetanol tetapi belum disuling (destilasi) harganya meningkat hingga Rp. 1.700/kg. Adapun gaplek yang sudah diolah menjadi bioetanol hingga tingkat destilasi harganya mencapai Rp. 2.000 hingga Rp. 2.400 tergantung pada tingkat kemurnian etanol (Dinas Pertanian TPH Jawa Tengah: 2003).
Dari permasalahan tersebut kami mencoba untuk memberikan solusi awal dengan mengadakan pelatihan pembuatan bioetanol kepada masyarakat Wonogiri. Pelatihan ini diadakan di kecamatan Jatiroto yang berada di kabupaten Wonogiri. Kecamatan ini dipilih karena merupakan penghasil Kacang Mete yang relatif besar di Wonogiri. Selain itu, alasan dipilihnya kecamatan ini sebagai tempat pelatihan adalah tempatnya yang cukup terpencil dengan kondisi masyarakat yang masih tergolong kedalam tingkat pedesaan sehingga dapat menjadi kawasan percontohan terkait dengan usaha pembuatan bioetanol dengan asumsi apabila daerah sekelas Jatiroto dapat berhasil mengembangkan bioetanol, maka teknik ini juga dapat diterapkan di daerah lain.
Sasaran utama dalam pelatihan pembuatan bioetanol ini adalah anak-anak yang masih memasuki usia sekolah (9 hingga 18 tahun). Pemilihan ini didasari pada tingkat produktivitas anak-anak tersebut yang tergolong cukup tinggi. Anak-anak tersebut pada umumnya memiliki semangat yang tinggi untuk belajar diluar kelas dan mengamati dunia baru terutama terkait dunia keilmiahan.
Untuk memudahkan dalam proses pelatihan, kami membagi peserta sesuai dengan tingkat pendidikan yakni SD (Kelas 4 hingga 6), SMP dan SMA. Jumlah peserta dalam pelatihan pembuatan ini berturut-turut adalah 250 anak SD, 150 anak SMP, dan 100 anak SMA. Semua peserta berasal dari berbagai desa dan kelurahan yang ada di Jatiroto, dimana setiap desa diberi kesempatan untuk mengirimkan 30-40 anak guna mengikuti pelatihan bioetanol ini.
Tabel 1. Peserta Pelatihan Pembuatan Bioetanol di Kecamatan Jatiroto
No. | Desa/Kelurahan | Jumlah Peserta | ||
SD | SMP | SMA | ||
1 | Boto | 16 | 10 | 5 |
2 | Brenggolo | 17 | 10 | 7 |
3 | Cangkring | 15 | 10 | 5 |
4 | Dawungan | 14 | 10 | 8 |
5 | Duren | 15 | 10 | 6 |
6 | Guno | 15 | 10 | 7 |
7 | Jatirejo | 14 | 10 | 5 |
8 | Jatiroto | 25 | 10 | 10 |
9 | Mojopuro | 15 | 10 | 6 |
10 | Ngelo | 16 | 10 | 7 |
11 | Pengkol | 15 | 10 | 5 |
12 | Pesido | 16 | 10 | 7 |
13 | Pingkuk | 17 | 10 | 6 |
14 | Sanggrong | 25 | 10 | 10 |
15 | Sugihan | 15 | 10 | 6 |
Keterangan:
- Pengambilan peserta diserahkan kepada pejabat desa dan kelurahan setempat yang bekerja sama dengan pejabat sekolah terkait.
- Pelatihan dilaksanakan selama 1 kali dalam seminggu (Desa 1-5 pada hari Jumat, Desa 6-10 pada hari Sabtu, Desa 11-15 pada hari Minggu) di Balai desa masing-masing.
- Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan dari bulan Oktober hingga November 2010.
Untuk anak SD, pemberian materi masih terbatas pada teknik pembuatan tape dari bahan baku singkong. Teknik pembuatan tape menjadi dasar pengetahuan bagi pembuatan bioetanol. Setiap peserta SD diberi pemahaman sederhana terkait fungsi bakteri Saccharomyce Sp atau yang biasa dikenal dengan nama ragi dalam mengolah singkong menjadi tape.
Pada pendidikan dasar tersebut, peserta tidak dituntut untuk menghasilkan etanol, tetapi lebih pada bagaimana membuat tape yang baik dan enak. Disini para peserta diajarkan bagaimana cara mengolah singkong, memberikan ragi kedalam sngkong dan menutup singkong tersebut agar dapat mengalami proses fermentasi.
Untuk anak SMP, pemberian materi sedikit meningkat dari pembuatan tape menjadi produksi bioetanol setengah jadi. Para peserta tersebut diberi cara pembuatan bioetanol skala rumah tangga secara sederhana. Mulai dari pengolahan gaplek menjadi bubur, proses peragian, hingga tahap penyaringan etanol yag dihasilkan selama proses tersebut. Peserta belum dikenalkan pada materi destilasi secara penguapan dan pengukusan.
Pada pendidikan menengah ini, peserta mulai diperkenalkan dengan berbagai istilah kimiawi yang terjadi selama proses pembuatan bioetanol tersebut. Para peserta dituntut untuk mampu mengkombinasikan antara gaplek dengan ragi sehingga mampu menghasilkan bioetanol yang maksimal
Adapun untuk anak SMA, pemberian materi semakin meningkat. Dari aspek teori, peserta diperkenalkan pada materi kimia dan rekayasa teknologi. Para peserta sudah dilibatkan pada proses cara menghitung kadar yang dihasilkan secara kalkulasi ilmiah. Para peserta juga sudah diperkenalkan pada berbagai zat dan kandungan yang terdapat dalam etanol singkong.
Dari aspek praktik, materi yang diberikan kepada para peserta semakin meningkat hingga tahap penyulingan dan pemurnian etanol yang dihasilkan. Para peserta diajarkan untuk memproduksi bioetanol skala rumah tangga dan dituntut untuk mampu menghasilkan bioetanol yang jernih dan memiliki presentasi etanol yang tinggi dengan batas toleransi 85 persen.
Setelah proses pendidikan selesai, pada bulan Desember 2010 kami mengadakan lomba pembuatan bioetanol tingkat kecamatan Jatiroto. Lomba tersebut dibagi kedalam tiga klasifikasi yakni tingkat SD, SMP dan SMA. Setiap klasifikasi diberi ujian praktik dan teori. Ujian teori dilaksanakan dengan menggunakan skema lomba cerdas cermat.
Untuk ujian praktik, setiap kelompok peserta diberi berbagai alat untuk membuat bioetanol dan diberi waktu selama 4 hari untuk menyelesaikan proses pembuatan bioetanol tersebut. Pembatasan waktu selama 4 hari ini didasarkan pada pengamatan bahwa waktu terbaik untuk fermentasi singkong adalah selama 96 jam (Hikmiyati: 2008). Selama proses fermentasi, hasil olahan para peserta disimpan kedalam lemari dan disimpan di kantor kecamatan Jatiroto. Agar hasil fermentasi lebih stabil, kami menjaga lemari tersebut agar tetap berada sesuai dengan suhu kamar 20 hingga 25 derajat celsius.
Setelah 4 hari, para peserta kembali diundang untuk melanjutkan proses pembuatan bioetanol sekaligus penjurian. Pada final ini, seluruh masyarakat kecamatan Jatiroto sangat antusias untuk melihat perwakilan dari desa mereka melanjutkan proses pembuatan bioetanol. Banyak diantara masyarakat yang datang secara berbondong-bondong menggunakan mobil dengan bak terbuka demi menyaksikan perlombaa tersebut, meski sebenarnya banyak diantara mereka yang tidak mengetahui lomba apa yang sedang dilaksanakan.
Istilah “Bioetanol” masih sangat asing di telinga masyarakat, bahkan tak jarang ada masyarakat yang mengalami salah pengucapan. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan tema apa yang sedang dilombakan, yang terpenting adalah desanya dapat menjadi juara. Sebagian besar masyarakat terlalu antusias bahkan tak jarang ada yang menyoraki peserta lomba, sehingga lomba ini lebih mirip dengan pertandingan sepak bola. Kondisi demikian memang sedikit mengganggu konsentrasi para peserta, namun hal ini juga mengindikasikan bahwa semangat masyarakat Wonogiri khususnya Jatiroto untuk menjadi lebih maju masih sangat tinggi terutama dalam hal perkembangan bioetanol.
Juara umum I dalam lomba ini adalah Desa Sanggrong dan diikuti oleh Desa Pingkuk dan Desa Jatiroto. Pada proses penyerahan hadiah juara, kami juga memberikan anjuran agar terus berlatih dan berbagi cara pembuatan bioetanol kepada warga sekitar sehingga ilmu tersebut dapat dipelajari oleh banyak orang.
Pasca kegiatan tersebut, pada bulan Februari 2011 kami kembali mengunjungi Kecamatan Jatiroto untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dari pelatihan pembuatan bioetanol tersebut. Dari observasi yang kami lakukan ke berbagai desa di Kecamatan Jatiroto, terlihat ada kemajuan yang cukup baik karena 9 dari 15 desa sudah mulai mengadakan pelatihan pembuatan bioetanol di tingkat Karang Taruna setempat.
Program ibu-ibu PKK juga sudah memasukkan pelatihan pembuatan tape singkong dalam jadwal kegiatannya. Hal yang cukup mengejutkan adalah pada pendidikan informal seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di desa Ngelo, Pingkuk, Sanggrong dan Jatirejo juga memiliki jadwal pelatihan pembuatan bioetanol dengan alat yang lebih sederhana.
Berdasarkan hal tersebut, kesimpulan awal kami menyebutkan bahwa minat masyarakat Jatiroto terhadap pembuatan bioetanol sangat tinggi. Hanya saja selama ini belum ada lembaga yang memberikan pengetahuan terkait bioetanol sehingga masyarakat tidak kunjung berkembang dalam menggali potensi yang terdapat dalam tanaman ubi kayu.
Dari kegiatan pelatihan pembuatan bioetanol yang kami laksanakan diatas, kami mencoba untuk memberikan gagasan strategis terkait pengembangan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Wonogiri dalam hal bioetanol. Setidaknya ada 4 teknik yang harus diterapkan agar muncul perubahan pola pikir dari kota gaplek menjadi kota bioetanol. Keempat teknik tersebut adalah:
- Mengadakan kegiatan pelatihan pembuatan bioetanol hingga ke tingkat desa dan kelurahan di seluruh Wonogiri.
- Membuat program “Kota Gaplek, Desa Bioetanol” yang bertujuan untuk memacu persaingan positif antar desa di Wonogiri.
- Mempromosikan potensi tenaga kerja Wonogiri kepada para pengusaha bioetanol baik di dalam maupun luar negeri.
- Menambahkan kurikulum Muatan Lokal “Desa Bioetanol” kepada semua instansi pendidikan dari SD hingga SMA di Kabupaten Wonogiri, agar pemahaman akan potensi Bioetanol dapat tertanam sejak usia produktif.
Pendidikan yang diberikan pun harus disesuaikan dengan kapasitas masyarakat tersebut. Sebagai contoh, pendidikan yang diberikan kepada ibu-ibu PKK tidak bisa disamakan dengan para remaja di Karang Taruna. Untuk PKK, pendidikan Bioetanol masih terbatas pada bagaimana membuat tape singkong yang baik dan enak. Jika sudah mapan dalam pembuatan tape singkong, maka barulah diperkenalkan bagaimana cara mengolah bioetanol secara sederhana.
Begitu pula dengan pendidikan untuk Karang Taruna, Kelompok Tani dan berbagai ormas lainnya. Program harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan para pengurus Karang Taruna tersebut. Praktis, program ini sangat bergantung pada kelihaian para tutor karena harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Program ini dapat dilaksanakan oleh siapa saja, baik dari instansi pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, hingga pemerintah. Namun peran pemerintah daerah tentu saja sangat diperlukan karena berpengaruh pada legitimasi kegiatan di mata masyarakat.
Tahap Kedua,membuat program “Kota Gaplek, Desa Bioetanol”. Program ini merupakan program lanjutan dari program pertama. Setelah memberikan pelatihan kepada masyarakat, harus ada upaya pembinaan agar program tersebut dapat berjalan secara berkelanjutan. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan mengadakan lomba sebagaimana yang telah kami uji cobakan di kecamatan Jatiroto diatas, lomba dilaksanakan setahun sekali.
Agar lomba dapat berjalan dengan baik, perlu diadakan klasifikasi lomba baik dari segi peserta maupun dari segi materi yang diujikan. Desa yang berhasil mengikuti semua lomba yang diujikan dan masuk kedalam 3 besar juara umum akan mendapatkan gelar “Desa Bioetanol”. Gelar ini diwujudkan dalam bentuk tulisan “Selamat Datang di Desa Bioetanol” yang dipasang di gerbang atau tugu menuju desa tersebut. Bahkan, jika perlu dibuat sertifikasi kepada warga yang sudah pernah menjuarai lomba pembuatan bioetanol.
Namun gelar ini tidak bisa melekat selamanya pada desa tersebut. Gelar “Desa Bioetanol” hanya berlaku selama satu tahun dan dievaluasi melalui lomba pembuatan bioetanol tahun berikutnya. Jika desa tersebut gagal mempertahankan prestasinya maka gelar tersebut akan dicabut dan diberikan kepada desa juara lainnya. Kegiatan ini bertujuan agar menumbuhkan semangat bersaing secara sportif antar desa dalam hal pembuatan bioetanol.
Apalagi setiap desa pasti memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri sehingga diharapkan akan muncul ide-ide kreatif dalam mengatasi kekurangan tersebut. Program ini sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun namun akan lebih menarik jika pemerintah kabupaten Wonogiri berperan aktif dan menggandeng instansi pendidikan dalam hal penilaian dan penjurian Desa Bioetanol. Sehingga hasil yang didapat dapat lebih maksimal dan diterima oleh semua kalangan.
Tahap Ketiga, mempromosikan tenaga kerja Wonogiri kepada para pengusaha bioetanol baik di dalam maupun luar negeri. Program ini juga merupakan kelanjutan dari program-program sebelumnya. Setelah diberi pendidikan, pelatihan dan gelar, pada umumnya masyarakat menuntut adanya peluang dari segi ekonomi atas apa yang selama ini telah mereka kerjakan.
Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah dengan mempromosikan potensi tenaga kerja dan sumber daya manusia tersebut kepada para pengusaha yang membutuhkan. Pada program ketiga ini, peran pemerintah daerah dinilai sangat vital karena harus membuka pintu investasi selebar-lebarnya kepada investor. Para calon investor tersebut harus diberikan penjelasan tentang potensi alam wonogiri yang sangat besar serta potensi sumber daya manusia yang juga tak kalah besarnya.
Diperlukan sebuah regulasi jelas yang mengatur berbagai ketentuan tata cara investasi bioetanol di Wonogiri, mulai dari lokasi aktivitas hingga masalah tenaga kerja sehingga potensi SDM yang sudah ada di Wonogiri tidak terbuang sia-sia dan menimbulkan masalah baru dalam masyarakat.
Tahap Keempat, menambahkan mata pelajaran baru kedalam semua instansi pendidikan mulai dari SD hingga SMA. Mata pelajaran baru tersebut berupa muatan lokal (mulok) “Desa Bioetanol” yang mengajarkan tentang bagaimana cara pembuatan Bioetanol dari skala rumah tangga hingga skala industri. Tentu saja dengan memperhatikan tingkat pendidikan.
Biasanya pada tahap awal akan terjadi krisis tenaga pengajar, tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan mengadakan kerjasama kepada instansi perguruan tinggi yang sedang melakukan program pengabdian masyarakat. Munculnya tambahan mata pelajaran ini bertujuan agar para siswa dapat menjadi tenaga kerja yang terampil setelah keluar dari masa pendidikan, sehingga bahaya akan pengangguran dapat sedikit teratasi.
Istilah “Desa Bioetanol” ini bertujuan agar para siswa merasa lebih dekat dengan nama bioetanol. Selain itu istilah ini juga bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa bioetanol tidak hanya dapat diciptakan oleh industri skala besar tapi juga oleh masyarakat dengan skala rumah tangga. Bioetanol tidak hanya diproduksi di kota tetapi juga lahir dari desa.
Slogan “Kota Gaplek, Desa Bioetanol” berfungsi sebagai pengubah pola pikir masyarakat Wonogiri dari sekedar mengolah menjadi gaplek menjadi bioetanol. Solgan seperti ini terbukti sangat efektif, misalnya adalah Propinsi Jawa Tengah yang membuat ikon baru menjadi ”Bali Deso, Mbangun Deso” sehingga membuat masyarakat menjadi hafal dan lebih memilih untuk membangu n daerahnya daripada berurbanisasi ke kota besar.
Hal ini tidak menutup kemungkinan, jika Kabupaten Wonogiri berani untuk menambah ikon ”Kota Gaplek, Desa Bioetanol” maka akan menumbuhkan sebuah pola pikir baru pada masyarakat. Kedepan, diharapkan program tersebut dapat berjalan lancar dan menjadi sebuah batu loncatan serta motivator bagi daerah-daerah lain yang juga memiliki potensi alam berupa singkong namun belum dapat memanfaatkannya secara optimal.
KESIMPULAN
Kabupaten Wonogiri memiliki potensi tanaman ubi kayu yang sangat besar, dalam satu tahun kabupaten ini memiliki lahan ubi kayu seluas 70.330 ha dan mampu menghasilkan 1.205.279 ton ubi kayu, umumnya produk tersebut diolah dengan cara dijemur dan menghasilkan ubi kayu kering bernama gaplek. Tingginya jumlah produk gaplek di Wonogiri menyebabkan kabupaten ini mendapatkan julukan sebagai Kota Gaplek.
Sayangnya, rendahnya harga gaplek tidak setara dengan tenaga yang dikeluarkan oleh para petani. Sebenarnya ubi kayu bisa juga dimanfaatkan untuk menjadi bioetanol, namun keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan pemanfaatan ubi kayu masih terbatas pada pembuatan gaplek. Oleh karena itu kami mengadakan penelitian terkait pelatihan pembuatan bioetanol kepada masyarakat kecamatan Jatiroto, Wonogiri.
Pelatihan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari semangat belajar yang tinggi dan saling bertukar ilmu terkait cara pembuatan bioetanol. Pelatihan yang tadinya hanya ditujuka kepada anak usia sekolah ternyata berkembang hingga ke ibu-ibu PKK dan remaja Karang Taruna.
Melihat keberhasilan dan tingginya hasil yang diperoleh dalam penelitian itu, kami berinisiatif untuk mencoba menawarkan beberapa gagasan terkait pengembangan bioetanol di kabupaten Wonogiri. Gagasan tersebut kami kemas dalam program yang bernama “Kota Gaplek, Desa Bioetanol”. Dalam program tersebut terdapat empat strategi yang harus dilaksanakan, meliputi:
- Mengadakan kegiatan pelatihan pembuatan bioetanol hingga ke tingkat desa dan kelurahan di seluruh Wonogiri.
- Membuat program “Kota Gaplek, Desa Bioetanol” yang bertujuan untuk memacu persaingan positif antar desa di Wonogiri.
- Mempromosikan potensi tenaga kerja Wonogiri kepada para pengusaha bioetanol baik di dalam maupun luar negeri.
- Menambahkan kurikulum Muatan Lokal “Desa Bioetanol” kepada semua instansi pendidikan dari SD hingga SMA di Kabupaten Wonogiri, agar pemahaman akan potensi Bioetanol dapat tertanam sejak usia produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Wonogiri. 2007. Rencana Kerja Sama Pemerintah Daerah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Wuming China. Wonogiri.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri. 2007. Kabupaten Wonogiri dalam Angka Tahun 2006. Wonogiri
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wonogiri. 2008. Laporan Kunjungan Kerja Kecamatan Baturetno 21 Juli 2008. Wonogiri
Dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri. 2008. Produksi Tanaman Pangan Kabupaten Wonogiri Tahun 2008. Wonogiri.
Hikmiyati Nopita. 2008. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Singkong melalui Proses Hidrolisa Asam dan Enzimatis. Makalah tidak Dipublikasikan. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Website:
http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor
http://www.bps.go.id/tab_sub/print.php?id_subyek=53%20¬ab=14
Sumber tulisan : http://kakniam.wordpress.com/2011/03/03/kota-gaplek-desa-bioetanol/
Posting Komentar