Sudwikatmono, Pengusaha Sukses Dari Wonogiri
Sudwikatmono Orang Wonogiri tepatnya Wuryantoro Kota Kecamatan yang
letaknya sebelah selatan Kota Wonogiri berjarak sekitar 20 Km.
Sudwikatmono Orang Wonogiri meninggal beberapa hari lalu, namun namanya
masih terus ditulis banyak media dan mengulas berbagai cerita tentang
Sudwikatmono.
Sudwikatmono, mantan si raja sinepleks, berniat membangun kerajaan bisnisnya lagi. Yang Mencoba Tidak Menyerah dan Tidak Lari.
Ini bukan dongeng seribu satu malam. Seorang konglomerat jatuh, karena langit tempatnya bergantung runtuh. Ia bagian dari beberapa konglomerat yang tumbuh bersama kekuasaan.
Lalu, satu per satu, dilegonya asetnya. Namanya pun pelan-pelan dalam proses menghilang. Tapi, sebelum sama sekali terhapus dari dunia bisnis, Sudwikatmono mencoba bangkit. Ia tak hanya mampu pulih, meski tak seratus persen, dari stroke yang menyerangnya di tahun 1997. Belum lama ini, lewat perusahaan yang dikelola anak bungsunya, ia mengajukan proposal untuk membeli PT Petrokimia Nusantara Interindo (PENI), salah satu perusahaan bahan baku plastik terbesar di Indonesia. Cita-citanya, membangun sebuah perusahaan bahan baku plastik terbesar, dengan cara menggabungkan PT PENI dengan yang sudah dan masih dimilikinya: Polypet Karyapersada, Polyprima Karyareksa, Tripolyta, dan Patra Polindo.
Sejauh ini, kita belum tahu kelanjutan dari rencana itu. Yang sudah berjalan hampir lima tahun, setelah Soeharto tak lagi berkuasa, Sudwi menjalankan bisnis-bisnisnya bak lone ranger. Ia hanya dibantu anak lelaki satu-satunya (tiga anaknya yang lain perempuan). Cuma, dalam lima tahun itu terbukti, setidaknya, dengan melepas yang satu meraih yang lain, ia bisa bertahan.
Dulu, selama 32 tahun, berkat kedekatannya dengan sang penguasa, bisnis lelaki kelahiran Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, itu menggurita hingga mencapai sekitar 300-an perusahaan. Kini, pun jaringan bioskop Cineplex 21, yang ketika lahir dihujani kritik oleh artis dan para pekerja film kita, sudah bukan lagi miliknya.
Seperti kata para bijak, harapan adalah pelita hidup, tampaknya itulah yang kemudian hinggap di benak Sudwi ketika selama satu bulan ia harus dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah. Badannya sempat lumpuh. Ia sempat pula tak bisa bicara. Tapi harapan membuat tubuhnya bersedia diajak latihan dan latihan—melatih tangannya dengan bola-bola kecil, membaca koran sambil berupaya berteriak-teriak untuk melatih bicara. Sudwi mencoba tidak menyerah. Dan berhasil. Suara lelaki yang dikenal jago melobi itu kini perlahan dan pelan, sama dengan irama berjalannya.
Seperti tubuhnya yang terserang stroke, krisis ekonomi membuat bisnis lelaki itu berantakan. Tiba-tiba saja, penggila mi itu berutang Rp 1,84 triliun kepada BPPN. Memang, Bank Surya yang dimilikinya bersama Bambang Sutrisno mendapat suntikan BLBI sebelum akhirnya ditutup pemerintah, akhir 1990-an. Bebannya terasa bertambah berat, karena Bambang kabur ke Singapura. Untunglah, pelanggaran batas maksimal pemberian kredit Bank Surya, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November silam, dibebankan kepada Bambang sebagai wakil komisaris utama. Terbukti ia dalang dari praktik tipu-menipu itu. Sudwi, sebagai komisaris utama, dinyatakan tidak tersangkut-paut kasus tersebut.
Di luar urusan Bank Surya, terpaan lain menimpa PT Indocement Tunggal Prakarsa, pabrik semen yang menjadi mesin uang Sudwikatmono dan rekan-rekan the Gang of Four-nya—Liem Sioe Liong, Djuhar, dan Ibrahim Risjad. Akibat nilai tukar rupiah merosot hingga tinggal seperempatnya terhadap dolar AS, Indocement tidak mampu membayar utang.
â€Untuk membayar bunga saja, kami tidak mampu,†ujarnya bercerita. Apa boleh buat, 62 persen kepemilikan perusahaan itu akhirnya dijual kepada Kimmeridge Enterprise, anak perusahaan Heidelberger Zement AG, sebuah perusahaan semen tingkat dunia. Saham Sudwikatmono dkk. pun terdilusi.
Sebagian dari saham Indocement yang tersisa, ditambah sebagian saham PT Bogasari Fluor Mills (mesin uang lainnya dari kelompok the Gang of Four), saham-saham lain dan sejumlah uang tunai, diserahkan kepada BPPN untuk melunasi utang yang Rp 1,84 triliun tadi. Sekarang, menurut Sudwikatmono, urusan utangnya kepada BPPN telah selesai. Ia dan Ibrahim Risjad memang tercatat sebagai obligor BPPN yang paling kooperatif. Bukan hanya dalam soal melunasi utang, juga dalam hal dipanggil BPPN, Sudwi selalu datang sendiri.
Karena urusan sudah beres, BPPN berjanji memberikan surat jaminan bebas dari proses dan tuntutan hukum yang dikenal sebagai release and discharge. â€Surat itu penting sebagai jaminan bahwa kewajiban saya telah selesai,†katanya. Untuk itu, sahamnya di Indocement dan Bogasari tak lagi berarti. â€Tidak signifikan,†katanya tanpa mau menyebut angka. Tapi mungkin ini lebih baik bagi pengusaha yang dulu suka berpantalon putih, bersepatu putih ini. Bukankah dua perusahaan itu menjadi besar hanya karena berkolusi dengan kekuasaan?
Menyangkut perusahaan-perusahaan yang lain, Sudwi menugaskan Grup Indika, kelompok usaha yang dimodalinya dan dijalankan anak bungsunya, Agus Lasmono, untuk melakukan restrukturisasi. Perusahaan yang kondisinya buruk segera ditutup. Perusahaan yang tidak termasuk core business keluarga—keluarga Sudwikatmono berencana menfokuskan diri pada bisnis multimedia, hospitality seperti restoran dan hotel, serta petrokimia—diupayakan dijual. Kerja sama yang dirasa tidak lagi sreg (karena berbagai alasan) diputus secara baik-baik.
Karena alasan yang terakhir itu, kerja sama bisnis selama 30 tahun dengan Benny Suherman dalam Grup Subentra (yang memiliki jaringan Cineplex 21) diputus secara baik-baik. Juga, ia berpisah kongsi dengan Arswendo Atmowiloto. Mereka berbisnis penerbitan, di antaranya tabloid Bintang dan Fantasi. Di luar yang dilepas-lepas itu, perusahaan yang masih baik dikelola secara lebih profesional. Melalui restrukturisasi, â€Nantinya perusahaan saya kira-kira tinggal 30 saja,†katanya.
Itulah memang jalan kembali bukan saja untuk survive, juga untuk berusaha tanpa KKN. Sesungguhnya, sebagian yang dipikulnya tak secara langsung karena ulahnya. Misalnya, ia ditagihi pajak sebagai komisaris utama di banyak perusahaan. Padahal, perusahaan-perusahaan itu sebetulnya merugi dan tidak lagi membayar gaji kepadanya. Selain itu, Sudwi sebagai komisaris utama di mana-mana bukan kemauannya sendiri.
Di zaman Orde Baru, banyak pebisnis sengaja mendekati dan mengajak berkongsi karena ia dianggap bisa menjamin keluarnya berbagai izin usaha. Ia memang dikenal sebagai pelobi andal, di samping punya sandaran sangat kuat: Soeharto.
Ada juga perusahaan yang sekadar minta izin pasang namanya di kolom komisaris utama, meski kalau ada imbalan jumlah tak berarti, dan meski dijatah saham gratis pun nilainya tak punya pengaruh dalam rapat umum pemegang saham (RUPS). Perusahaan yang berperilaku seperti ini yakin, pencantuman nama Sudwikatmono bisa membuat keder para pesaing, birokrat, dan pejabat yang hendak mengganggu bisnis tersebut. Jadi, Sudwikatmono pernah disamakan dengan semacam mantra, atau jampi-jampi penolak bala. Itu sebabnya hingga ia disebut-sebut memiliki kerajaan bisnis 300 badan usaha.
Musim berganti, para penguasa pun lewat. Di antara pendiri Gang of Four, setidaknya Sudwikatmono tak menampik tanggung jawab. Pengalamannya menderita stroke, antara lain, membuatnya bertekad untuk menegakkan perusahaan yang tak lagi menyandarkan pada keleluasaan. Pepatah klasik itu memang bersemayam di benaknya: pengalaman itu memang benar guru yang baik, tapi memang benar juga SPP-nya teramat mahal.
Sumber : http://www.majalahtrust.com/liputan_khusus/liputan_khusus/159.php
Image : http://i.poskota.co.id/uploads/2011/01/Sudwikatmono.jpg
Sudwikatmono, mantan si raja sinepleks, berniat membangun kerajaan bisnisnya lagi. Yang Mencoba Tidak Menyerah dan Tidak Lari.
Ini bukan dongeng seribu satu malam. Seorang konglomerat jatuh, karena langit tempatnya bergantung runtuh. Ia bagian dari beberapa konglomerat yang tumbuh bersama kekuasaan.
Lalu, satu per satu, dilegonya asetnya. Namanya pun pelan-pelan dalam proses menghilang. Tapi, sebelum sama sekali terhapus dari dunia bisnis, Sudwikatmono mencoba bangkit. Ia tak hanya mampu pulih, meski tak seratus persen, dari stroke yang menyerangnya di tahun 1997. Belum lama ini, lewat perusahaan yang dikelola anak bungsunya, ia mengajukan proposal untuk membeli PT Petrokimia Nusantara Interindo (PENI), salah satu perusahaan bahan baku plastik terbesar di Indonesia. Cita-citanya, membangun sebuah perusahaan bahan baku plastik terbesar, dengan cara menggabungkan PT PENI dengan yang sudah dan masih dimilikinya: Polypet Karyapersada, Polyprima Karyareksa, Tripolyta, dan Patra Polindo.
Sejauh ini, kita belum tahu kelanjutan dari rencana itu. Yang sudah berjalan hampir lima tahun, setelah Soeharto tak lagi berkuasa, Sudwi menjalankan bisnis-bisnisnya bak lone ranger. Ia hanya dibantu anak lelaki satu-satunya (tiga anaknya yang lain perempuan). Cuma, dalam lima tahun itu terbukti, setidaknya, dengan melepas yang satu meraih yang lain, ia bisa bertahan.
Dulu, selama 32 tahun, berkat kedekatannya dengan sang penguasa, bisnis lelaki kelahiran Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, itu menggurita hingga mencapai sekitar 300-an perusahaan. Kini, pun jaringan bioskop Cineplex 21, yang ketika lahir dihujani kritik oleh artis dan para pekerja film kita, sudah bukan lagi miliknya.
Seperti kata para bijak, harapan adalah pelita hidup, tampaknya itulah yang kemudian hinggap di benak Sudwi ketika selama satu bulan ia harus dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah. Badannya sempat lumpuh. Ia sempat pula tak bisa bicara. Tapi harapan membuat tubuhnya bersedia diajak latihan dan latihan—melatih tangannya dengan bola-bola kecil, membaca koran sambil berupaya berteriak-teriak untuk melatih bicara. Sudwi mencoba tidak menyerah. Dan berhasil. Suara lelaki yang dikenal jago melobi itu kini perlahan dan pelan, sama dengan irama berjalannya.
Seperti tubuhnya yang terserang stroke, krisis ekonomi membuat bisnis lelaki itu berantakan. Tiba-tiba saja, penggila mi itu berutang Rp 1,84 triliun kepada BPPN. Memang, Bank Surya yang dimilikinya bersama Bambang Sutrisno mendapat suntikan BLBI sebelum akhirnya ditutup pemerintah, akhir 1990-an. Bebannya terasa bertambah berat, karena Bambang kabur ke Singapura. Untunglah, pelanggaran batas maksimal pemberian kredit Bank Surya, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November silam, dibebankan kepada Bambang sebagai wakil komisaris utama. Terbukti ia dalang dari praktik tipu-menipu itu. Sudwi, sebagai komisaris utama, dinyatakan tidak tersangkut-paut kasus tersebut.
Di luar urusan Bank Surya, terpaan lain menimpa PT Indocement Tunggal Prakarsa, pabrik semen yang menjadi mesin uang Sudwikatmono dan rekan-rekan the Gang of Four-nya—Liem Sioe Liong, Djuhar, dan Ibrahim Risjad. Akibat nilai tukar rupiah merosot hingga tinggal seperempatnya terhadap dolar AS, Indocement tidak mampu membayar utang.
â€Untuk membayar bunga saja, kami tidak mampu,†ujarnya bercerita. Apa boleh buat, 62 persen kepemilikan perusahaan itu akhirnya dijual kepada Kimmeridge Enterprise, anak perusahaan Heidelberger Zement AG, sebuah perusahaan semen tingkat dunia. Saham Sudwikatmono dkk. pun terdilusi.
Sebagian dari saham Indocement yang tersisa, ditambah sebagian saham PT Bogasari Fluor Mills (mesin uang lainnya dari kelompok the Gang of Four), saham-saham lain dan sejumlah uang tunai, diserahkan kepada BPPN untuk melunasi utang yang Rp 1,84 triliun tadi. Sekarang, menurut Sudwikatmono, urusan utangnya kepada BPPN telah selesai. Ia dan Ibrahim Risjad memang tercatat sebagai obligor BPPN yang paling kooperatif. Bukan hanya dalam soal melunasi utang, juga dalam hal dipanggil BPPN, Sudwi selalu datang sendiri.
Karena urusan sudah beres, BPPN berjanji memberikan surat jaminan bebas dari proses dan tuntutan hukum yang dikenal sebagai release and discharge. â€Surat itu penting sebagai jaminan bahwa kewajiban saya telah selesai,†katanya. Untuk itu, sahamnya di Indocement dan Bogasari tak lagi berarti. â€Tidak signifikan,†katanya tanpa mau menyebut angka. Tapi mungkin ini lebih baik bagi pengusaha yang dulu suka berpantalon putih, bersepatu putih ini. Bukankah dua perusahaan itu menjadi besar hanya karena berkolusi dengan kekuasaan?
Menyangkut perusahaan-perusahaan yang lain, Sudwi menugaskan Grup Indika, kelompok usaha yang dimodalinya dan dijalankan anak bungsunya, Agus Lasmono, untuk melakukan restrukturisasi. Perusahaan yang kondisinya buruk segera ditutup. Perusahaan yang tidak termasuk core business keluarga—keluarga Sudwikatmono berencana menfokuskan diri pada bisnis multimedia, hospitality seperti restoran dan hotel, serta petrokimia—diupayakan dijual. Kerja sama yang dirasa tidak lagi sreg (karena berbagai alasan) diputus secara baik-baik.
Karena alasan yang terakhir itu, kerja sama bisnis selama 30 tahun dengan Benny Suherman dalam Grup Subentra (yang memiliki jaringan Cineplex 21) diputus secara baik-baik. Juga, ia berpisah kongsi dengan Arswendo Atmowiloto. Mereka berbisnis penerbitan, di antaranya tabloid Bintang dan Fantasi. Di luar yang dilepas-lepas itu, perusahaan yang masih baik dikelola secara lebih profesional. Melalui restrukturisasi, â€Nantinya perusahaan saya kira-kira tinggal 30 saja,†katanya.
Itulah memang jalan kembali bukan saja untuk survive, juga untuk berusaha tanpa KKN. Sesungguhnya, sebagian yang dipikulnya tak secara langsung karena ulahnya. Misalnya, ia ditagihi pajak sebagai komisaris utama di banyak perusahaan. Padahal, perusahaan-perusahaan itu sebetulnya merugi dan tidak lagi membayar gaji kepadanya. Selain itu, Sudwi sebagai komisaris utama di mana-mana bukan kemauannya sendiri.
Di zaman Orde Baru, banyak pebisnis sengaja mendekati dan mengajak berkongsi karena ia dianggap bisa menjamin keluarnya berbagai izin usaha. Ia memang dikenal sebagai pelobi andal, di samping punya sandaran sangat kuat: Soeharto.
Ada juga perusahaan yang sekadar minta izin pasang namanya di kolom komisaris utama, meski kalau ada imbalan jumlah tak berarti, dan meski dijatah saham gratis pun nilainya tak punya pengaruh dalam rapat umum pemegang saham (RUPS). Perusahaan yang berperilaku seperti ini yakin, pencantuman nama Sudwikatmono bisa membuat keder para pesaing, birokrat, dan pejabat yang hendak mengganggu bisnis tersebut. Jadi, Sudwikatmono pernah disamakan dengan semacam mantra, atau jampi-jampi penolak bala. Itu sebabnya hingga ia disebut-sebut memiliki kerajaan bisnis 300 badan usaha.
Musim berganti, para penguasa pun lewat. Di antara pendiri Gang of Four, setidaknya Sudwikatmono tak menampik tanggung jawab. Pengalamannya menderita stroke, antara lain, membuatnya bertekad untuk menegakkan perusahaan yang tak lagi menyandarkan pada keleluasaan. Pepatah klasik itu memang bersemayam di benaknya: pengalaman itu memang benar guru yang baik, tapi memang benar juga SPP-nya teramat mahal.
Sumber : http://www.majalahtrust.com/liputan_khusus/liputan_khusus/159.php
Image : http://i.poskota.co.id/uploads/2011/01/Sudwikatmono.jpg
Posting Komentar